BAB I
PENGANTAR
1.1. Umum
Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung,
telah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada tanggal 23 Juli 1998. Tim
Gabungan ini bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan
latar belakang peristiwa 13-15 Mei. 1998. TGPF terdiri dari unsur-unsur
pemerintah, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM,
dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Sejak dibentuk dalam masa tiga bulan TGPF telah melaksanakan
tugas-tugasnya yang berakhir pada tanggal 23 Oktober 1998. Ringkasan Eksekutif
ini merupakan ringkasan dari Laporan Akhir, sedangkan Laporan Akhir terdiri
dari Ringkasan Eksekutif ini dengan semua lampiran yang terdiri dari Seri 2:
Data-data Kerusuhan, Seri 3: Foto-foto dan Laporan Kemajuan (Progress Report),
Seri 4: Fakta Korban, Seri 5: Testimoni dan Seri 6: Verifikasi Dalam Laporan
Akhir, bahan-bahan disusun dan dianalisa menurut wilayah peristiwa (Jakarta,
Solo, Surabaya, Medan, Palembang, Lampung), kecuali laporan mengenai kekerasan
seksual (sexual violence), yang disusun secara tersendiri, Laporan Akhir ini merupakan
dokumen aktual sebagai pertanggungjawaban TGPF.
1.2. Abstraksi
TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat
dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik masyarakat
Indonesia pada periode waktu itu, serta dampak ikutannya. Peristiwa-peristiwa
sebelumnya seperti Pemilu 1997, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi,
Sidang Umum MPR-RI 1998, unjukrasa/demonstrasi mahasiswa yang terus-menerus,
serta tewas tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, semuanya berkaitan
erat dengan peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998. Kejadian-kcjadian tersebut
nerupakan rangkaian tindakan kekerasan yang menuju pada pecahnya peristiwa
kerusuhan yang menyeluruh pada tangga1 13-15 Mei 1998. TGPF berkeyakinan, bahwa
salah satu dampak utama peristiwa kerusuhan tersebut adalah terjadinya
pergantian kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei 1998. Dampak ikutan
lainnya ialah berlanjutnya kekerasan berupa intimidasi dan kekerasan seksual
termasuk perkosaan yang berhubungan dengan kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Di semua wilayah yang dikaji oleh TGPF didapat adanya kesamaan waktu
pecahnya kerusuhan. Kedekatan, bahkan kesamaan pola kejadian mengindikasikan
kondisi dan situasi sosial-ekonomi-politik yang potensial memungkinkan pecahnya
suatu kerusuhan, Kondisi objektif tersebut pada gilirannya sebagian memang
pecah secara alamiah dan sebagian lagi dipecahkan melalui sarana-sarana pemicu.
Pola kerusuhan bervariasi, mulai dari yang bersifat spontan, lokal, sporadis,
hingga yang terencana dan terorganisir. Para pelakunya pun beragam, mulai dari
massa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif
kerusuhan, provokator, termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan.
1.3. Skala Kerusuhan
TGPF mendefinisikan bahwa kerusuhan adalah keseluruhan bentuk dan
rangkaian tindak kekerasan yang meluas, kompleks, mendadak dan eskalatif dengan
dimensi-dimensi kuantitatif dan kualitatif. Skala kerusuhan 13-15 Mei 1998
mencakup aspek-aspek sosial, politik, keamanan, ekonomi bahkan kultural.
Dilihat dari kerangka waktu (time frame), kerusuhan ini membawa dampak ikutan.
Dengan demikian, rentang kerusuhan harus dirujuk pada dinamika krisis nasional,
hingga dampak-dampak pasca kerusuhan, dalam lingkup geografis yang berskala
nasional. Enam kota yang dikaji merupakan contoh dari skala nasional kerusuhan
yang terjadi. Secara ringkas, kerusuhan 13-15 Mei 1998 harus diletakkan dalam
rentang waktu sebelum dan sesudahnya, dimensinya menyeluruh dan multi aspek,
serta wilayah cakupannya bersifat nasional. Dari sudut aktivitas, klasifikasi
kerusuhan yang ditetapkan TGPF mencakup rangkaian tindak perusakan, penjarahan,
pembakaran, kekerasan seksual, penganiayaan, pembunuhan, penculikan, dan
intimidasi yang menjurus menjadi teror.
1.4. Prosedur dan Arah Penyelidikan
Penyelidikan TGPF diawali dugaan pengumpulan informasi, fakta, dan data
lapangan (pada aras massa), guna menemukan kembali jejak-jejak rangkaian
peristiwa dan hubungan antar subjek dalam peristiwa itu berikut waktu (tempus)
dan tempat (locus) peristiwanya. Dengan prosedur ini dapat ditemukan kembali,
dan direkonstruksi, kronologi peristiwa di setiap lokasi. Tahap tersebut
dilanjutkan dengan rekonstruksi makro (pada aras pengambilan keputusan) melalui
serangkaian wawancara dan temu konsultasi dengan para pejabat terkait pada saat
kerusuhan, lembaga masyarakat, dan organisasi profesi. Tahap berikutnya berupa
pemetaan hubungan, jika ada, antara kedua arah penyelidikan.
BAB II
ORGANISASI
DAN TATA KERJA
2.1. Organisasi
TGPF dirancang bersifat fungsioal dan masing-masing bagian, termasuk
setiap anggota, tidak berkedudukan subordinat terhadap bagian atau anggota
lainnya. Struktur dan susunan organisiasi adalah sebagai berikut:
1. Ketua/Anggota : Marzuki Darusman SH (Komnas HAM)
2. Wakil Ketua I/Anggota : Mayjen Pol Drs Marwan Paris MBA (Mabes
ABRI)
3. Wakil Ketua II/Anggota : K.H. Dr Said Aqiel Siradj (NU)
4. Sekretaris/Anggota : Dr Rosita Sofyan Noer MA (Bakom-PKB)
5. Wakil Sekretaris I/Anggota : Zulkarnain
Yunus SH (Depkeh)
6. Wakil Sekretaris II/Anggota : Asmara
Nababan SH (Komnas HAM)
7. Anggota : Sri hardjo SE (Kantor Menperta)
8. Anggota : Drs Bambang W. Soeharto (Komnas HAM)
9. Anggota : Prof Dr Saparinah Sadli (Komnas HAM)
10. Anggota : Mayjen TNI Syamsu D Sh (Mabes ABRI)
11. Anggota : Mayjen Pol Drs Da'i Bachtiar (Mabes
ABRI)
12. Anggota : Abdul Ghani SE (Deplu)
13. Anggota : I Made Gelgel SH (Kejakgung)
14. Anggota : Dunidja D (Depdagri)
15. Anggota : Romo I Sandyawan Sumardi SJ (Tim Relawan)
16. Anggota : Nursyahbani Katajsungkana SH
(LBH-APIK)
17. Anggota : Abdul Hakim Garuda Nusantara SH, LLM
(Elsam)
18. Anggota : Bambang Widjojanto SH (YLBHI)
2.1.1 Dalam rangka
penyelidikan,
TGPF membentuk
3 Subtim, sebagai berikut:
1. Subtim Verifikasi : Sri Hardjo SE (Ketua)
2. Subtim Testimoni : Dr Bambang W Suharto (Ketua)
3. Subtim Fakta Korban : Prof Dr Saparinah Sadli (Ketua)
2.2. Sekretariat
Untuk
memperlancar tugas-tugas, TGPF membuka 3 sekretariat sebagai berikut:
1. Departemen Kehakiman
Jalan Rasuna Said Kav 4-5, Kuningan Sekretariat ini dikoordinasi oleh
Sulkarnain Yunus SH dibantu Muljanto SH, K. Suparlan SH, Demak Lubis dan
Bambang Pamungkas.
2. Jalan Hang Tuah Raya No.3
Kebayoran baru, Jakarta Sel;atan Sekretariat inbi dikoordinasi oleh Dr Rosita
Sofyan Noer MA dibantu Dra Hetty S, Indra Kusuma SH, dan Sri Rahajeng SH.
3. Komnas HAM
Jalan Latuharhary 4 B, Jakarta Pusat Sekretariat ini dikoordinasi oleh Asmara
Nababan SH
2.3. Tim Asistensi
Dalam
melaksanakan tugas sehari-hari, TGPF dibantu oleh satu Tim Asistensi sebagai
berikut:
1. Ketua/Anggota : Hermawan
Sulistyo PhD
2. Wakil Ketua/Anggota : Letkol Pol Drs
Rusbagio Ishak
3. Anggota : Drs M.
Riefqy Muna M. Def,Stud
4. Anggota : Drs
Mohammad Rum
5. Anggota : Dra
Hargyaning Tyas
6. Anggota : Lettu
Pol Andi Nurlia
7. Anggota : Lettu
Pol Pandra Arsyad SH
8. Anggota :
Robertus Robert S.Sos
9. Anggota : Juliadi
Karmandito S.Sos
10. Anggota : Moch.
Nurhasim S.Ip
11. Anggota : Ir Sri
Palupi
12. Anggota : Dra Ruth
Indiah Rahayu
2.4. Tatakerja
Dalam rangka membuka kesempatan
yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menyampaikan informasi, TGPF membuka
satu kotak pos dan 5 hotlines. Selain itu, TGPF membangun komunikasi untuk
penyampaian hasil kepada masyarakat melalui media massa. TGPF juga membangun
kerja sama dengan beberapa lembaga/instansi pemerintah maupun pihak lain.
Proses kerja TGPF mengikuti tahapan sebagai berikut:
1. Pengumpulan dan pengolahan data dari berbagai sumber.
2. Melakukan verifikasi atas data dari berbagai sumber tersebut.
3. Mengadakan wawancara dengan sejumlah pejabat dan mantan pejabat, baik sipil
maupun ABRI.
4. Mengadakan pertemuan konsultatif dengan lembaga profesi dan saksi ahli.
5. Melakukan kunjungan lapangan ke daerah-daerah.
6. Menyusun ulang gambaran alur peristiwa serta melakukan analisis.
7. Menyimpulkan temuan-temuan dan mengungkapkan duduk perkara sebenarnya.
8. Menyusun rekomeodasi kebijakan dan kelembagaan
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1. Mengumpulkan dan mengolah data
dari sumber-sumber:
1. Tim Relawan: Data korban
kerusuhan dan analisisnya (korban jiwa, luka-luka, penjarahan, kekerasan
seksual) di Jakarta, Palembang, Solo dan Surabaya. Pola kerusuhan yang terjadi
di Jakarta dan sekitarnya, status penjarah dalam kerusuhan, pengaduan,
dokumentasi, informasi, video dab lain-lain.
2. Bakom PKB: Data penyerangan seksual, foto, video, transkript
hot-line berupa informasi dan pengaduan.
3. Komnas HAM: Data dan analisa kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya.
4. YLBHI: Data penculikan pada waktu kerusuhan.
5. Polri: Data korban kerusuhan, berupa korban jiwa dan material.
3.2. Kotak Pos dan Hotlines yang
dibuka untuk menampung informasi sebagai berikut:
1. Kotak Pos menerima
146 surat berisi informasi, pengaduan, opini dan lain-lain.
2. Hotlines
2.1. Departemen Kehakiman (Jl. Rasuna Said): 32 kontak berupa
pengaduan dan informasi, isi bervariasi.
2.2. Sekretariat Tim Relawan (Jl. Arus Dalam I): 41 kontak berupa
informasi, pengaduan, ancaman dan pertanyaan seputar eksistensi serta hasil
temuan TGPF.
2.3. Mabes Polri: 12 kontak berupa pengaduan dan informasi
2.4. Jl. Hang Tuah Raya No.3: 33 kontak berupa pengaduan dan
informasi,
2.5. YLBHI: 5 kontak berupa pengaduan dan informasi.
3.3. Dalam rangka penyelidikan, tiga
subtim TGPF melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
1. Subtim Verifikasi:
1.1. Menyelenggarakan
Verifikasi data korban hasil pengolahan oleh Tim Asistensi, Sub Tim Verifikasi
telah meminta kesaksian dan keterangan dari saksi mata, saksi ahli, korban,
keluarga korban, dan pendamping korban sebanyak 24 orang di Jakarta dan lebih
dari 100 orang yang dimintakan keterangannya di lapangan baik oleh TGPF maupun
Tim Asistensi.
1.2. Menyelenggarakan wawancara untuk memperoleh testimoni dengan
pejabat dan tokoh masyarakat di Surakarta, Surabaya, Lampung, Palembang, dan
Medan, para pejabat dan tokoh masyarakat yang dapat dimintai keterangan adalah
Gubernur KDH Tk. I, Panglima Daerah Militer, Kepala Daerah Kepolisian, Komandan
Korem, Kepala Kepolisian Wilayah, Komandan Kodim, Kepala Kepolisian
Tabes/Resort, Walikotamadya, Camat, LBH, Bakom PKB, Pimpinan Parpol/Ormas.
2. Subtim Testimoni:
Hingga
tugas-tugas TGPF berakhir, Subtim Testimoni telah meminta keterangan/kesaksian
sepuluh pejabat (sebagian bersama atau beserta stafnya) terkait yang
bertanggung jawab pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998 terjadi di Jakarta. Mereka
adalah:
* Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin (Pangdam Jaya pada saat
kerusuhan).
* Mayjen Pol Hamami Nata (Kapolda Metro Jaya pada saat kerusuhan)
* Mayjen TNI Sutiyoso (Gubernur KDKI Jakarta)
* Mayjen TNl Zacky Anwar Makarim (Ka BIA)
* Mayjen TNI (Mar) Soeharto(Dankormar)
* Letjen TNI Prabowo Subianto (Pangkostrad pada saat kerusuhan)
* Fahmi Idris (Tokoh Masyarakat)
* Brigjen TNI Sudi Silalahi (Kastaf Kodam Jaya)
* Kolonel Inf Tri Tamtomo (Asops Kodam Jaya)
* Jenderal TNI Subagyo H.S. (KASAD/Mantan Ketua DKP)
3. Subtim Fakta Korban:
Subtim Fakta
Korban tidak hanya menyajikan ulang, data kerugian fisik akibat kerusuhan,
tetapi memberikan penekanan khusus pada korban manusia. Perspektif Subtim Fakta
Korban adalah sisi penderitaan manusia akibat kerusuhan tersebut, sekalipun
bukan berarti mengabaikan atau tidak menghitung aspek kerugian fisiknya. Subtim
Fakta Korban juga memberi perhatian dan perlakuan secara khusus atas
laporan-laporan kekerasan seksual termasuk perkosaan selama kerusuhan
berlangsung. Dalam proses melakukan verifikasi, Subtim telah meminta keterangan
dari saksi korban sebanyak 25 orang, saksi ahli 20 orang, saksi mata/keluarga,
36 Rohaniawan/Pendamping 10 orang. Kecuali itu Subtim juga meminta keterangan
dari aparat keamanan tentang korban. TGPF juga menggunakan prosedur yang
disebut Protokol Minesota yang disesuaikan dengan ruang
lingkup korban kerusuhan. Prosedur ini dinyatakan oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) yang melaksanakan protokol ini sebagai Protokol
Jakarta.
BAB IV
TEMUAN
4.1. Pola Umum Kerusuhan
Kerusuhan
mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri
dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok
provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar
ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi,
merusak rambu-ratnbu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator
mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul
dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan
membakar gedung atau barang-barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga
variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan perusakan, baru
kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.
Para pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terdiri
dari dua golongan yakni, pertama, masa pasif (massa pendatang) yang karena
diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua, provokator. Provokator
umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian
memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan
segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator
ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak
dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom
molotov, dan sebagainya.
Dari sudut
urutan peristiwa, TGPF menemukan bahwa titik picu paling awal kerusuhan di
Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas
Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998. Sementara pada tanggal 14 Mei 1998,
kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang
antara pukul 08.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB. Dengan demikian untuk kasus
Jakarta, jika semata-mata dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak.
TGPF mendapatkan, bahwa faktor pemicu (triggering factor) terutama untuk kasus
Jakarta ialah tertembak matinya mahasiswa Trisakti pada sore hari tanggal 12 Mei 1998.
Dalam derajat
yang lebih rendah, tertembaknnya mahasiswa Trisakti tersebut juga menjadi
faktor pemicu kerusuhan di lima daerah yang dipilih TGPF, terkecuali kerusuhan
Medan dan sekitarnya yang telah terjadi sebelumnya. Sasaran kerusuhan adalah
pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalulintas dan lain-lain),
kantor pemerintah (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat
termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan
pribadi. Sasaran kerusuhan kebanyakan etnis Cina.
4.2. Pelaku
Para pelaku kerusuhan dapat dibagi
atas tiga kelompok sebagai berikut:
4.2.1. Kelompok Provakator
Kelompok
inilah yang menggerakkan massa, dengan memancing keributan, memberikan
tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan pengrusakan awal, pembakaran,
mendorong penjarahan. Kelompok ini datang dari luar tidak berasal dari penduduk
setempat, dalam kelompok kecil (lebih kurang belasan orang), terlatih (yang
mempunyai kemampuan terbiasa menggunakan alat kekerasan), bergerak dengan mobilitas
tinggi, menggunakan sarana transport (sepeda motor, mobil/Jeep) dan sarana
komunikasi (HT/HP). Kelompok ini juga menyiapkan alat-alat perusak seperti
batu, bom molotov, cairan pembakar, linggis dan lain-lain. Pada umumnya
kelompok ini sulit dikenal, walaupun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok
dari organisasi pemuda (contoh di Medan ditemukan keterlibatan langsung Pemuda
Pancasila). Diketemukan fakta keterlibatan anggota aparat keamanan,
seperti di Jakarta, Medan, dan Solo.
4.2.2. Massa Aktif
Massa dalam
jumlah puluhan hingga ratusan, yang mulanya adalah massa pasif pendatang, yang
sudah terprovokasi sehingga menjadi agresif, melakukan perusakan lebih luas
termasuk pembakaran. Massa ini juga melakukan penjarahan pada toko-toko dan
rumah. Mereka bergerak secara terorganisir.
4.2.3. Massa Pasif
Pada awalnya
massa pasif lokal berkumpul untuk menonton dan ingin tahu apa yang akan
terjadi. Sebagian dari mereka terlibat ikut-ikutan merusak dan menjarah setelah
dimulainya kerusuhan, tetapi tidak sedikit pula yang hanya menonton sampai
akhir kerusuhan. Sebagian dari mereka menjadi korban kebakaran.
4.3. Korban dan Kerugian
4.3.1.Kategori
Tentang korban, selama ini
dirasakan adanya kecenderungan dari pemerintah, masyarakat termasuk mass media memusatkan
perhatian pada korban akibat kekerasan seksual semata-mata. Fakta menunjukkan
bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah orang-orang yang
telah menderita secara fisik dan psikis karena hal-hal berikut, yaitu: kerugian
fisik/material (rumah atau tempat usaha dirusak atau dibakar dan hartanya
dijarah), meninggal dunia saat terjadinya kerusuhan karena berbagai sebab
(terbakar, tertembak, teraniaya, dan lain-lain), kehilangan pekerjaan,
penganiayaan, penculikan dan rnenjadi sasaran tindak kekerasan seksual.
Dengan
demikian, korban dalam kerusuhan Mei lalu dibagi dalam beberapa kategori
sebagai berikut:
1. Kerugian Material:
Adalah kerugian bangunan,
seperti toko, swalayan, atau rumah yang dirusak, termasuk harta benda berupa
mobil, sepeda motor, barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya yang
dijarah dan/atau dibakar massa. Temuan tim menunjukkan bahwa korban material
ini bersifat lintas kelas sosial, tidak hanya menirnpa etnis Cina, tetapi juga
warga lainnya. Namun yang paling banyak menderita kerugian material adalah dari
etnis Cina.
2. Korban kehilangan pekerjaan:
Adalah orang-orang yang
akibat terjadinya kerusuhan, karena gedung atau tempat kerjanya dirusak,
dijarah dan dibakar, membuat mereka kehilangan pekerjaan atau sumber kehidupan.
Yang paling banyak kehilangan pekerjaan adalah anggota masyarakat biasa.
3. Korban meninggal dunia dan luka-luka:
Adalah orang-orang yang
meninggal dunia dan luka-luka saat terjadinya kerusuhan. Mereka adalah korban
yang terjebak dalam gedung yang terbakar, korban penganiayaan, korban tembak
dan kekerasan lainnya.
4. Korban Penculikan:
Adalah mereka yang hilang/diculik pada
saat kerusuhan yang dilaporkan ke YLBHI/Kontras dan hingga kini belum
diketemukan, mereka adalah:
1. Yadin Muhidin (23 tahun) hilang di daerah Senen.
2. Abdun Nasir (33 tahun) hilang di daerah Lippo Karawaci;
3. Hendra Hambali (19 tahun), hilang di daerah Glodok Plaza;
4. Ucok Siahaan (22 tahun), hilang tidak diketahui di mana;
4.3.2. Jumlah Korban dan Kerugian
Sulit ditemukan angka pasti jumlah
korban dan kerugian dalam kerusuhan. Untuk Jakarta, TGPF menemukan variasi
jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka sebagai berikut:
(1) data Tim Relewan 1190 orang akibat ter/dibakar, 27 orang
akibat senjata/dan lainnya, 91luka-luka;
(2) data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak
tercatat;
(3) data Kodam 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, 69 orang
luka-luka;
(4) data Pemda DKI meninggal dunia 288 , dan luka-luka 101 .
Untuk kota-kota lain di luar Jakarta
variasi angkanya adalah sebagai berikut:
(1) data Polri 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang,
dan 27 orang luka bakar;
(2) data Tim Relawan 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.
Opini yang
selama ini terbentuk adalah bahwa mereka yang meninggal akibat kesalahannya
sendiri, padahal ditemukan banyak orang meninggal bukan karena kesalahannya
sendiri. Perbedaan jumlah korban jiwa antara yang ditemukan tim dengan angka
resmi yang dikeluarkan pemerintah terjadi karena pada kenyataannya begitu
banyak korban yang telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat, sebelum ada
evakuasi resmi dari pemerintah. Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan
resmi pemerintah.
4.4. Kekerasan Seksual
4.4.1. Kategori Korban
Dengan
mengacu Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan,
kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan
jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara
fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Sementara bila dipakai
rujukan dari hukum positif Indonesia maka semua peristiwa kekerasan seksual tak
dapat dijelaskan secara memadai dan adil. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang
ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998 lalu, dapat dibagi dalam beberapa kategori,
yaitu: perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan
seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual.
4.4.2. Jumlah Korban
Dari hasil
verifikasi dan uji silang terhadap data yang ada, menjadi nyata bahwa tidak
mudah memperoleh data yang akurat untuk menghitung jumlah korban kekerasan
seksual, termasuk perkosaan. TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di
Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya.
Dari jumlah korban kekerasan seksual
yang dilaporkan yang rinciannya adalah:
1. Yang
didengar langsung: 3 orang korban
2. Yang diperiksa dokter secara medis: 9 orang korban;
3. Yang diperoleh keterangan dari orang tua korban: 3 orang
korban;
4. Yang diperoleh melalui saksi (perawat, psikiater, psikolog): 10 orang
korban;
5. Yang diperoleh melalui kesaksian rokhaniawan/pendamping (konselor): 27 orang
korban;
4.4.2.1.
Korban perkosaaan dengan penganiayaan: 14 orang korban:
1. Yang diperoleh dari keterangan dokter: 3 orang korban;
2. Yang diperoleh dari keterangan saksi mata (keluarga): 10 orang
korban;
3. Yang diperoleh dari keterangan konselor: 1 orang korban;
4.4.2.2.
Korban penyerangan/penganiayaan seksual: 10 orang korban:
1. Yang diperoleh dari keterangan korban: 3 orang korban;
2. Yang diperoleh dari keterangan rohaniawan: 3 orang korban;
3. Yang diperoleh dari keterangan saksi (keluarga): 3 orang korban;
4. Yang diperoleh dari keterangan dokter: 1 orang korban;
4.4.2.3.
Korban pelecehan seksual: 9 orang korban:
1. Yang diperoleh dari keterangan korban; 1 orang korban;
2. Yang diperoleh dari keterangan saksi: 8 orang korban (dari Jakarta
dan Surabaya)
Selain
korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF juga
menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah
kerusuhan Mei. Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan
kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan. Dalam kunjungan ke
daerah Medan TGPF telah mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan
seksual yang terjadi pada kerusuhan tanggal 4-8 Mei l998 di antara mana 5
(lima) telah melapor. Setelah kerusuhan Mei, 2 (dua) kasus terjadi di Jakarta
pada tanggal 2 Juli 1998 dan 2 (dua) terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli l998.
Kekerasan
seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan di tempat
usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah/bangunan. TGPF juga
menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di
mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang
sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di
hadapan orang lain. Meskipun korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal
dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan
Mei l998 lalu diderita oleh perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual
ini pun bersifat lintas kelas sosial.
4.5. Aspek Pertanggung jawaban
Keamanan
Dari hasil
verifikasi saksi dan korban, testimoni para pejabat ABRI dan mantan pejabat
terkait, dari aspek keamanan TGPF menemukan fakta bahwa koordinasi antara
satuan keamanan kurang mamadai, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat
keamanan di berbagai tempat tertentu membiarkan kerusuhan terjadi, ditemukan
adanya di beberapa wilayah clash (bentrokan) antarpasukan dan
adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana.
Di beberapa tempat didapatkan bukti bahwa jasa-jasa keamanan dikomersilkan.
Begitu pula TGPF menemukan adanya kesenjangan persepsi antara masyarakat dan
aparat keamanan. Masyarakat beranggapan bahwa di beberapa lokasi telah terjadi
vakum kehadiran aparat keamanan, atau bila ada tidak berbuat apa-apa untuk
mencegah atau meluasnya kerusuhan. Sebaliknya, para pejabat keamanan
berkeyakinan tidak terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, meskipun disadari
kenyataan menunjukkan bahwa untuk lokasi tertentu masih tetap terjadi kerusuhan
(di luar prioritias pengamanan), hal ini disebabkan oleh karena terbatasnya
kekuatan pasukan.
BAB V
ANALISA
5.1. Aras Makro
Peristiwa kerusuhan tanggal
13-l5 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks
dinamika sosial politik masyarakat Indonesia pada masa itu, yang ditandai
dengan rentetan peristiwa Pemilu 1997, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR RI Tahun
1998, demonstrasi simultan mahasiswa, penculikan para aktivis dan tertembaknya
mahasiswa Trisakti. Pada peristiwa inilah rangkaian kekerasan yang berpola dan
beruntun yang terjadi secara akumulatif dan menyeluruh, dapat dilihat sebagai
titik api bertemunya dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang
intensif yang terpusat pada pertarungan politik tentang kelangsungan rezim Orde
Baru dan kepemimpian Presiden Suharto yang telah kehilangan kepercayaan rakyat
dan proses cepat pemburukan ekonomi.
Di bidang politik terjadi gejala yang mengindikasikan adanya pertarungan
faksi-faksi intra elit yang melibatkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam
pemerintahan maupun masyarakat yang terpusat pada isu penggantian kepemimpinan
nasional. Hal ini tampak dari adanya faktor dinamika politik seperti yang
tampak dalam pertemuan di Makostrad tanggal 14 Mei 1998 antara beberapa pejabat
ABRI dengan beberapa tokoh masyarakat, yang menggambarkan bagian integral dari
pergumulan elit politik. Di samping itu dinamika pergumulan juga tampak pada
tanggung jawab Letjen TNI Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis.
Analisa ini
semakin dikuatkan dengan fakta terjadinya pergantian kepemimpinan nasional satu
minggu setelah kerusuhan terjadi, yang sebelumnya telah didahului dengan adanya
langkah-langkah ke arah diberlakukannya TAP MPR No. V /MPR/1998.
Di bidang ekonomi terjadi krisis moneter yang telab mengakibatkan
membesarnya kesenjangan sosial ekonomi, menguatnya persepsi tentang
ketikdakadilan yang semakin akut dan menciptakan dislokasi sosial yang luas
yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antarkelas) dan horizontal
(antargolongan).
Di bidang sosial, akibat krisis bidang politik dan ekonomi, nampak jelas
gejala kekerasan massa yang eksesif yang cenderung dipilih sebagai solusi
penyelesaian masalah, misalnya dalam bentuk penjarahan di antara sesama
penduduk di daerah. Begitu pula adanya sentimen ras yang laten dalam masyarakat
telah merebak menjadi rasialisme terutama di kota-kota besar. Di samping itu
identitas keagamaan telah terpaksa digunakan oleh sebagian penduduk sebagai
sarana untuk melindungi diri sehingga menciptakan perasaan diperlakukan secara
diskriminstif pada golongan agama lain. Mudah dipahami bahwa latar belakang
kekerasan-kekerasan itu telah menjadikan peristiwa penembakan mahawiswa
Universitas Trisakti sebagai pemicu kerusuhan berskala nasional.
5.2. Aras Mikro
Pada aras mikro (massa) dapat dianalisis bahwa dari satuan unit wilayah
(enam lokasi kota yang dipilih TGPF), terdapat beberapa kesamaan, kemiripan,
maupun variasi pola kerusuhan.
Pertama, di Jakarta pola
umum kerusuhan terjadi dalam empat tahap, yaitu:
(a) tahap persiapan/pra perusakan meliputi
aktivitas memancing reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu,
tong sampah, barang bekas) dan atau dengan cara membuat perkelahian antar
kelompok/pelajar juga dengan meneriakan yel-yel tertentu untuk memanasi
massa/menimbulkan rasa kebencian seperti: "mahasiswa pengecut",
"polisi anjing;"
(b) tahap perusakan meliputi
aktivitas seperti: melempar batu, botol, mendobrak pintu, memecahkan kaca,
membongkar sarana umum dengan alat-alat yang dipersiapkan sebelumnya;
(c) tahap penjarahan meliputi
seluruh aktivitas untuk mengambil barang atau benda-banda lain dalam gedung
yang telah dirusak;
(d) tahap pembakaran yang
merupakan puncak kerusuhan yang memberikan dampak korban dan kerugian yang
paling besar.
Kedua,
di Solo, TGPF menemukan fakta yang selain memberi petunjuk jelas mengenai
keterlibatan para preman termasuk organisasi pemuda setempat, juga dari
kelompok yang berbaju loreng dan baret merah sebagaimana yang digunakan
kesatuan Kopassus, dalam mengkondisikan terjadinya kerusuhan. Kasus-kasus Solo,
mengindikasikan keterkaitan antara kekerasan massa di tingkat bawah dengan
pertarungan elite di tingkat atas. Penumpangan kasus Solo melalui provokator
lokal dipermudah oleh kenyataan, bahwa aksi-aksi mahasiswa Solo sebelum
kerusuhan sudah menimbulkan bentrokan dan korban fisik, bahkan pada masa-masa
sebelum mahasiswa di kota lain berdemontrasi.
Ketiga, Surabaya dan Lampung dan dikelompakkan menjadi satu
kategori, karena beberapa ciri yang serupa. Di kedua kota ini, kerusuhan
relatif berlangsung cepat dan segara dapat diatasi, skalanya relatif kecil
dengan korban dan kerugian yang tidak begitu parah. Sekalipun pada kasus kedua
kota ini juga didapati "penumpang gelap" (free rider) dan provokator lokal tetapi keduanya
menunjukkan lebih menonjol sifat lokal, sporadis, terbatas, dan spontan.
Keempat, kasus Palembang lebih tidak bersifat spontan dibanding
Surabaya dan Lampung. Para "penumpang gelap" atau provokator lokal
lebih berperan dan mengarah pada kerusuhan terencana dan terorganisir dalam
skala yang lebih besar.
Kelima, sedangkan
kasus Medan,
unsur-unsur penggerak lokal dengan ciri preman kota lebih menonjol lagi. patut
diingat, bahwa kerusuhan di Medan sudah terjadi sepekan sebelum kerusuhan
tanggal 13-15 Mei 1998 di lima kota lainnya, namun Medan merupakan titik awal
rangkaian munculnya secara nasional.
Dari uraian di atas, TGPF menemukan bahwa kerusuhan di Jakarta, Solo,
Medan mempunyai kesamaan pola. Sedangkan kerusuhan di Palembang secara umum
memiliki kesamaan dengan kerusuhan di Jakarta, Solo, Medan namun memiliki ciri
spesifik di mana provokator dan "penumpang gelap" sukar dibedakan.
Adapun kerusuhan yang terjadi di Lampung dan Surabaya, pada hakekatnya
menunjukkan sifat-sifat yang lokal, sporadis, terbatas dan spontan.
5.2.1. Korban Kekerasan
Seksual
1. Besarnya
jumlah korban jiwa selama kerusuhan disebabkan oleh telah terkumpulnya secara
berpola terlebih dahulu jumlah massa yang besar disekitar gedung-gedung pusat
pertokoan yang kemudian pada awalnya didorong memasuki gedung-gedung tersebut
meninggal di dalam gedung yang terbakar. Bahwa jumlah korban jiwa yang besar
juga diakibatkan oleh sangat lemahnya upaya penyelamatan, baik oleh masyarakat
maupun instansi/aparatur. Faktor kebakaran dan skala kerusuhan yang telah
terjadi merupakan penyebab utama dari kerugian materiil yang sangat besar.
2. Dari
segi intensitas kekerasan terhadap sebagian korban yang menjadi sasaran
serangan, dimensi sentimen anti rasial terhadap golongan etnik Cina yang latent
merupakan faktor penyebab dominan yang mudah diekspolitir untuk menciptakan
kerusuhan. Faktor lain yang telah menyebabkan penyerangan terhadap kelompok
etnis Cina karena penyerangan awal yang ditujukan terhadap toko-toko dan rumah-
rumah milik golongan etnis tersebut yang terkonsentrasi di beberapa wilayah
tertentu.
3. Kekerasan
seksual telah terjadi selama kerusuhan dan merupkan satu bentuk serangan
terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan yang dalam serta
rasa takut dan trauma yang luas. Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat
tertentu, paluang, serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah
membolehkan tindakan tersebut dilakukan sehingga melipatgandakan terjadinya
perbuatan tersebut.
4. Sosial
Ekonomi. Tekanan dan kesenjangan sosial ekonomi yang diperparah oleh kelangkaan
bahan pokok yang dialami masyarakat, rawan terhadap pengeksploatasian sehingga
melahirkan dorongan-dorongan destruktif untuk melakukan tindak-tindak kekerasan
(perusakan, pembakaran, penjarahan dan lain-lain). Sebagian besar mereka yang
terlibat ikut- ikutan dalam kerusuhan pada dasarnya adalah korban dari keadaan
serta struktur yang tidak adil. Mereka berasal dari lapisan rakyat kebanyakan.
5. Adanya
kesimpangsiuran di masyarakat tentang ada tidaknya serta jumlah korban
perkosaan timbul dari pendekatan yang didasarkan kepada hukum positif yang
mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan dan
atau tanda-tanda kekerasan serta saksi dan petunjuk. Di pihak lain, keadaan
traumatis, rasa takut yang mendalam serta aib yang dialami oleh korban dan
keluarganya, membuat mereka tidak dapat mengungkapkan segala hal yang mereka
alami.
Dari korban kekerasan seksual, khususnya korban perkosaan yang berjumlah
14 orang, setelah diverifikasi terdapat dua kelompok korban ditinjau dari sudut
pendekatan positif dan empirik yaitu:
1. Fakta yang berasal dari
korban langsung dan IDI yang berdasarkan sumpah jabatan dan Protokol Jakarta sebanyak 3 orang.
2. Fakta yang berasal dari
keluarga korban, saksi, psikater/psikolog maupun rohaniwan/pendamping sebanyak
11 orang.
5.2.2. Aspek
Pertanggungjawaban Keamanan
Kurang memadainya koordinasi antar satuan pengaman, adanya keterlambatan antisipasi,
adanya aparat keamanan yang membiarkan kerusuhan terjadi dan adanya
kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana, begitu
juga perbedaan persepsi tentang adanya vakum kehadiran aparat keamanan
dimungkinkan karena:
1. Adanya kelemahan komando dan
pengendalian yang berakibat pada ketidaksamaan , ketidakjelasan/kesimpangsiuran
perintah yang diterima oleh satuan/pasukan di lapangan.
2. Pemilihan penetapan
prioritas penempatan pasukan pengaman sentra-sentra ekonomi dan perdagangan
yang tidak memadai untuk dapat segara meredakan keadaan telah menyebabkan
banyak korban, bertalian dngan kondisi keterbatasan pasukan di wilayah jakarta
serta dihadapkan dengan ekskalasi kerusuhan yang tidak mampu diantisipasi.
3. Komunikasi antar pasukan
pengamanan tidak lancar yang disebabkan oleh keanekaragaman spesifikasi
alat-alat komunikasi yang digunakan , yang semakin dipersulit oleh banyaknya
gedung bertingkat tinggi.
4. Sesuai dengan doktrin
ABRI rakyat bukanlah musuh, sehingga secara hukum aparat keamanan tidak boleh
mengambil tindakan berupa penembakan terhadap rakyat/masyarakat. Secara
psikologi aparat keamanan menghadapi dilema untuk mengambil tindakan efektif
oleh karena banyaknya anggota masyarakat dan adanya pasukan lain yang berada di
sekitar lokasi.
5. Adanya perbedaan pola
tindak dan bentrokan di lapangan antara yang mencerminkan kondisi kurangnya
koordinasi dan saling kepercayaan akan tugas untuk menghadapi tekanan arus
massa yang besar.
Kurang/terbatasnya satuan operasi Polda maupun Kodam Jaya dihadapkan pada
luasnya wilayah tanggung jawab serta banyaknya tempat-tempat yang bernilai
strategis (obyek wisata), Seharusnya Kapolda ataupun Pangdam Jaya mengambil
skala prioritas dalam mengalokasikan atau menempatkan satuan/pasukan pengaman,
sehingga ada beberapa tempat/wilayah terpaksa tidak dialokasikan satuan/pasukan
pengaman.
BAB VI
KESIMPULAN
1.
Sebab pokok peristiwa
Kerusuhan 13-14
mei 1998 adalah terjadinya
persilangan ganda antara dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik
yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan
proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat. Di dalam proses pergumulan elit
politik itu, ada pemeran-pemeran Makostrad tanggal 14 Mei 1998, patut diduga
dapat mengungkap peranan pelaku dan pola pergumulan yang menuju pada kerusuhan
yang terjadi.
2.
Peristiwa kerusuhan 14 Mei 1998 adalah puncak dari
rentetan kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, seperti
penculikan yang sesunguhnya sudah berlangsung lama dalam wujud kegiatan
inteljen yang tidak dapat diawasi secara efektif dan peristiwa Trisakti. Dapat
disimpulkan bahwa peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti telah menciptakan
faktor martir yang telah menjadi pemicu(triggering factor) kerusuhan.
3.
Dari fakta di lapangan terdapat tiga pola
kerusuhan, yaitu:
1.
Pertama, kerusuhan bersifat lokal, sporadis,
terbatas dan spontan, berlangsung dalam waktu relatif singkat dan dengan skala
kerugian serta korban yang relatif kecil. Kerusuhan dengan pola seperti ini
terjadi karena situasi sosial-ekonomi-politik yang secara obyektif sudah tidak
mungkin dicegah.
2.
Kedua, Kerusuhan bersifat saling terkait
antar-lokasi, dengan model yang mirip Provokator dalam jenis kerusuhan ini
berperan lebih menonjol dibanding jenis kerusuhan pertama. Mereka bukan berasal
dari lokasi yang bersangkutan. Kemudian, ada kemiripan, atau bahkan keseragaman
waktu dan urutan-urutan kejadian. Karena jenis kerusuhan ini skalanya besar,
dan beberapa tempat, bahkan mengindikasikan berlangsung secara berurutan secara
sistematik. Namun, belum ditemukan indikasi bahwa kerusuhan jenis ini
direncakan dan pecah secara lebih luas daripada sekedar bersifat lokal yang
berurutan. Terdapat mata rantai yang terputus (missing
link) bagi pembuktian bahwa
kerusuhan ini terjadi kondisi objektif. Kerusuhan jenis ini skalanya besar dan
didapati semua tempat.
3.
Ketiga, terdapat indikasi bahwa kerusuhan
terjadi karena sengaja. Unsur kesengajaan lebih besar, dengan kondisi objektif
yang sudah tercipta. Jenis kerusuhan ini umumnya mirip dengan jenis kedua,
tetapi unsur penumpangan situasi jauh lebih jelas. Pada jenis atau pola ketiga
ini, diduga kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di
tingkat elite. Sebagaimana halnya pada kerusuhan jenis kedua, terdapat sejumlah
mata rantai yang hilang (missing
link) yaitu bukti-bukti atau
informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar
elite dengan aras massa.
4. Dari
temuan lapangan, banyak pihak yang berperan di semua tingkat, baik sebagai
massa aktif maupun provokator unytuk mendapatkan keuntungn pribadi maupun
kelompok atau golongan, atas terjadinya kerusuhan. Kesimpulan ini merupakan penegasan
bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi
politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di
dalam ABRI yang di luar kendali dalam kerisuhan ini. Mereka mendapatkan
keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk menumpangi kerusuhan,
melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. Dalam konteks
inilah, ABRI tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal
memiliki tanggung jawab untuk itu. Di lain pihak, kemampuan masyarakat belum
mendukung untuk turut mencegah terjadinya kerusuhan.
5. Angka
pasti korban jiwa secara nasional tidak dapat diungkapkan, karena adanya
kelemahan dalam sistem pemantauan serta prosedur pelaporan. Korban jiwa
terbesar diderita oleh rakyat kebanyakan. Mereka sebagian besar meninggal
karena terbakar. Mereka tak dapat dipersalahkan begitu saja dengan stigma
penjarah. Begitu juga nilai kerugian material secara pasti tak dapat dihitung,
hanya dapat diperkirakan.
6. Bedasarkan
fakta yang ditemukan dan informasi dari saksi-saksi ahli, telah terjadi
kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dalam peristiwa Kerusuhan tanggal 13- 14
mei 1998. Dari sejumlah kasus yang dapat diverifikasi dapt disimpulkan telah
terjadi perkosaan yang dilakukan terhadap sejumlah perempuan oleh sejumlah
pelaku di bebagai tempat yang berbeda dalam waktu yang sama atau hampir
bersamaan, dapat terjadi secara spontan karena situasinya mendukung atau
direkayasa oleh kelompok tertentu untuk tujuan tertentu. Korban adalah penduduk
indonesia dengan berbagai latar belakang, yang diantarannya kebanyakan adalah
etnis Cina.
7. Belum
dapat dipastikan bahwa kekerasan seksual yang terjadi merupakan kegiatan yang
terencana atau semata ekses dari kerusuhan. Tidak ditemukan fakta tentang adanya
aspek agama dalam kasus kekerasan seksual. Juga disimpulkan, bahwa perangkat
hukum positif tidak memadai dan oleh karena itu tiadak responsif untuk
memungkinkan semua kasus perkosaan yang ditemukan atau dilaporkan dapat
diproses secara hukum dengan segera.
8. Peristiwa
kerusuhan ini semakin meluas oleh karena kurang mamadainya tindakan-tindakan
pengamanan guna mencegah, membatasi dan menanggulangi pecahnya rangkaian
perbuatan kekerasan yang seharusnya dapat diantisipasi dan yang kemudian
berproses secara eskalatif. Dapat disimpulkan bahwa adanya kerawanan dan
kelemahan operasi keamanan di Jakarta khususnya bertalian erat dengan kerusuhan
pengembangan tanggung jawab Pangkoops Jaya yang tidak menjalankan tugasnya
sebagaimana yang seharusnya. Gejala kerawanan dan kelemahan keamanan dalam
gradasi yang berbeda-beda di berbagai kota lain di mana terjadi kerusuhan, juga
bertalian dengan masalah pergumulan elit politik pada tingkat Nasional.
9. Ditegaskan
korelasi sebab-akibat dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang memuncak pada
peristiwa kerusuhan 13-14 mei 1998, dapat dipersepsi sebagai suatu upaya ke
arah penciptaan situasi darurat yang memerlukan tindakan pembentukan kekuasaan
konstitusional yang ekstra, guna mengendalikan keadaan, yang
persiapan-persiapan ke arah itu telah dimulai pada tingkat pengambilan
keputusan tertinggi.
BAB VII
REKOMENDASI
Dari
kesimpulan di atas TGPF menyampaikan rekomendasi kebijakan dan kelembagaan
sebagi berikut:
1.
Pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan
terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa
kerusuhan 13-14
Mei 1998, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai
peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak
yang bertalian dengan kerusuhan tersebut. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan
penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna
mengetahui dan mengungkap serta memastikan peran Letjen. Prabowo dan
pihak-pihak lainya, dalan seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.
2.
Pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti
kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang
memuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang dapat diungkap secara yuridis baik
terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya, guna
menegakkan wibawa hukum, termasuk mempercepat proses Yudisial yang sedang
berjalan. Dalam rangkaian ini Pangkoops Jaya Mayjen Syafrie Syamsoeddin perlu
dimintakan pertanggung jawabannya. Dalam kasus penculikan Letjen Prabowo dan
semua pihak yang terlibat harus dibawa ke pengadilan militer. Demikian juga
dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang
sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa.
3.
Pemerintah harus segera memberikan jaminan keamanan
bagi saksi dan korban dengan membuat undang-undang dimaksud. Sementara
undang-undang tersebut belum terbentuk, pemerintah segera membuat badan
permanen untuk melaksanakan program perlindungan terhadap para korban dan saksi (victim and witness protection
program).
4.
Pemerintah harus memberikan rehabilitas dan
kompensasi bagi semua korban dan keluarga kerusuhan. Pemerintah juga untuk
mengurus surat-surat berharga milik korban. Terhadap gedung-gedung yang
terbakar, pemerintah perlu segera membantu pembangunan kembali gedung-gedung
tersebut, terutama sentra-sentra ekonomi dan perdagangan serta
fasilitas-fasilitas sosial.
5.
Pemerintah perlu segera meratifikasi konvensi
internasional mengenai anti-diskriminasi rasial dan merealisasikan
pelaksanaanya dalam produk hukum positif, termasuk implementasi konvensi anti
penyiksaan.
6.
Pemerintah perlu segera membersihkan segala bentuk
premanisme yang berkembang di semua lingkungan, lapisan dan profesi masyarakat
sesuai dengan hukum yang berlaku, dan menetapkan secara hukum pelarangan
penggunaan seragam-seragam militer atau yang menyerupai seragam militer bagi
organisasi massa yang cenderung menjadikannya sensasi organisasi para militer.
7.
Pemerintah perlu segera menyusun undang-undang
tentang intelejen negara yang menegaskan tanggung jawab pokok, fungsi dan batas
ruang lingkup pelaksanaan operasi intelejen pada badan pemerintah/negara yang
berwenang, sehingga kepentingan keamanan negara dapat dilindungi dan di pihak
lain hak asasi manusia dapat dihormati. Yang tak kurang penting adalah bahwa
kegiatan operasi intelejen dapat diawasi secara efektif oleh lembaga-lembaga
pengawas, sehingga tidak berubah menjadi instrumen kekuasaan bagi kepentingan
politik dari pihak tertentu.
8.
Pemerintah perlu membentuk mekanisme pendataan
lanjutan yang dapat menampung proses pemuktahiran data-data tentang semua aspek
yang menyangkut kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998.
BAB VIII
STATUS
HUKUM
1. Keseluruhan
bahan-bahan dan dukomentasi serta Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta
diserahterimakan kepada pemerintah cq Menteri Kehakiman pada saat berakhirnya
tugas TGPF.
2. Dengan
Selesainya tugas Tim Gabungan Pencari Fakta, maka secara hukum segala hak,
kewajiban dan tanggung jawab sebagai anggota berakhir.
BAB IX
PENUTUP
Peristiwa
kerusuhan 13-15
Mei 1998 adalah tragedi
nasional yang sangat menyedihkan dan merupakan satu aib terhadap martabat dan
kehormatan manusia, bangsa dan negara secara keseluruhan. Pemerintah maupun
masyarakat harus secara sungguh-sungguh mengambil segala tindakan untuk
mencegah terulangnya peristiwa semacam kerusuhan tersebut. Adalah mendesak
bahwa perhatian dan solidaritas semua pihak diwujudkan secara nyata kepada para
korban dan keluarga korban, sehingga pemulihan hak-hak sebagai satu bangsa yang
beradab juga ditentukan sejauh mana bangsa kita dapat mengkoreksi kelemahan dan
kekurangannya, secepat apa kita menghilangkan rasa takut dan mewujudkan rasa
tenteram dan aman untuk setiap orang tanpa terkecuali.
sumber : http://semanggipeduli.com/